Hamil anggur adalah kehamilan abnormal di mana embrio tidak berkembang sempurna. Sebagai gantinya tumbuh kumpulan kista yang menyerupai buah anggur di rahim. Karena itulah, kondisi ini dinamai hamil anggur. Meskipun jarang terjadi, hamil anggur memerlukan perhatian medis segera untuk mencegah komplikasi serius.
Berikut penjelasan selengkapnya.
Hamil anggur merupakan kehamilan dimana sel telur yang telah dibuahi tidak berkembang sebagaimana mestinya. Pada kehamilan normal, pembuahan menghasilkan embrio yang berkembang menjadi janin dan plasenta yang sehat. Namun pada hamil anggur, terjadi perkembangan plasenta yang tidak normal dengan sedikit atau tanpa pertumbuhan janin sama sekali.
Proses ini terjadi karena adanya masalah pada kromosom saat pembuahan. Pada kehamilan normal, janin memiliki 23 pasang kromosom dari ayah dan ibu. Pada hamil anggur, jumlah kromosom bisa kurang atau lebih dari yang seharusnya.
Kondisi ini terjadi ketika sel telur yang tidak memiliki inti (sel telur kosong) dibuahi oleh sperma. Akibatnya:
Terjadi ketika satu sel telur normal dibuahi oleh dua sperma sekaligus. Karakteristiknya meliputi:
Hamil anggur apakah berbahaya? Tentu. Pasalnya, plasenta yang tumbuh secara tidak wajar itu bisa terus berkembang setelahnya. Tanpa penanganan, pertumbuhan plasenta abnormal dapat menimbulkan komplikasi serius, salah satunya adalah koriokarsinoma, sejenis kanker langka.
Laporan tentang mola hidatidosa menunjukkan frekuensi yang beragam dalam skala global. Di Indonesia, sekitar 1 dari 100 kehamilan dilaporkan mengalami kondisi ini. Angka tersebut tergolong lebih sering daripada beberapa negara lain, contohnya Paraguay yang hanya 1 dari 5.000 kehamilan.
Penyebab tingginya angka ini masih belum jelas, sama seperti penyebab hamil anggur itu sendiri. Walaupun demikian, sejumlah studi menyebut beberapa faktor dapat berperan dalam meningkatkan risiko kejadiannya pada wanita.
Faktor genetik merupakan risiko utama terjadinya mola hidatidosa. Kombinasi atau duplikasi DNA orang tua yang tidak normal selama pembuahan secara langsung dapat menyebabkan mola hidatidosa.
Sebuah studi menunjukkan hubungan antara pola makan dan risiko terjadinya mola hidatidosa. Wanita yang mengalami kondisi ini memiliki asupan karoten yang rendah, yang merupakan prekursor vitamin A.
Data menunjukkan bahwa wanita dengan konsumsi karoten lebih tinggi memiliki risiko 40% lebih rendah terkena mola hidatidosa.
Kendati kekurangan nutrisi lain mungkin juga ikut berkontribusi, karoten menjadi faktor risiko yang masuk akal secara biologis karena perannya dalam pertumbuhan dan pembelahan sel.
Penelitian di Iran mengungkap kemungkinan pengaruh paparan lingkungan terhadap mola hidatidosa. Hasil penelitian mencatat bahwa wanita yang sering terpapar debu dan tanah dalam kadar tinggi, baik dari aktivitas sendiri maupun secara tidak langsung, memiliki risiko lebih tinggi.
Debu dan tanah ini berpotensi membawa zat kimia, mikroba, atau partikel lain yang bisa memengaruhi perkembangan trofoblas (lapisan sel luar yang membantu terbentuknya plasenta) secara abnormal.
Menurut studi, risiko terjadinya mola hidatidosa juga lebih tinggi pada wanita yang berusia di bawah 20 tahun maupun di atas 35 tahun ketika mengandung. Wanita berusia lebih dari 40 tahun bahkan berisiko 7 kali lebih besar mengalami kondisi ini daripada wanita yang lebih muda.
Awal dan akhir masa subur wanita menjadi periode dengan risiko lebih tinggi sebab sel telur cenderung lebih rentan terhadap fertilisasi abnormal, umumnya akibat kesalahan dalam meiosis (proses pembelahan sel untuk menghasilkan sel telur).
Faktor risiko ini paling berdampak pada wanita di atas 35 tahun, dengan frekuensi kelainan sekitar 10 kali lipat lebih tinggi daripada wanita berusia wanita berusia 20-35 tahun.
Riwayat mola hidatidosa pada wanita membuatnya lebih rentan mengalami kondisi yang sama di kehamilan selanjutnya. Risiko tersebut meningkat tajam pada wanita yang pernah mengalami dua atau lebih mola hidatidosa sebelumnya.
Hal ini diduga berkaitan dengan faktor genetik atau imunologis yang memengaruhi sel telur atau embrio awal. Akibatnya, terjadilah fertilisasi abnormal dan pertumbuhan trofoblas yang tidak wajar.
Pada fase awal, ciri fisik hamil anggur kurang lebih mirip dengan kehamilan normal. Tanda-tandanya seperti payudara terasa nyeri, morning sickness (mual di pagi hari), dan mudah lelah.
Sekitar minggu ke-10 kehamilan, tanda-tanda lainnya akan muncul, misalnya mual dan muntah hebat serta tekanan darah tinggi dini (pre-eklampsia). Namun, ciri-ciri hamil anggur yang paling jelas pada periode ini adalah perdarahan berat dari vagina yang warnanya cenderung cokelat gelap.
Di samping itu, tes darah juga akan memperlihatkan kadar hormon kehamilan (hCG) yang melebihi normal.
Diagnosis hamil anggur melibatkan sejumlah prosedur. Pertama-tama, ultrasonografi (USG) menjadi alat utama dalam mendiagnosis mola hidatidosa. USG hendaknya dilakukan pada minggu ke-11 hingga ke-14 kehamilan karena dapat mengidentifikasi pertumbuhan plasenta abnormal dengan akurat.
USG dini tidak hanya membantu mengidentifikasi mola hidatidosa, tetapi juga menjadi dasar untuk menilai risiko dan menyusun rencana penanganan ke depannya.
Akurasi pemeriksaan kian meningkat jika dokter menggabungkan USG dengan pemeriksaan kadar hCG yang tinggi pada penderita mola hidatidosa. Dokter juga dapat menggunakan Doppler untuk mengecek aliran darah di plasenta. Khusus untuk mola hidatidosa parsial, tes sitogenetik atau kromosom dapat memperkuat diagnosis.
Alhasil, pelaksanaan USG dan sitogenetik secara bersama-sama sangat berguna dengan manfaat-manfaat sebagai berikut:
Apakah harus operasi? Ya. Penanganan utama hamil anggur adalah mengangkat jaringan plasenta abnormal dari rahim. Prosedur yang paling sering digunakan adalah kuretase hisap.
Mengapa kuretase diperlukan?
Setelah kuretase, pasien masih perlu diawasi atau dipantau dengan pemeriksaan kadar hormon hCG:
Jika masih ada jaringan abnormal, dokter bisa memberikan kemoterapi:
Setelah penanganan selesai, pemantauan tetap diperlukan untuk mendeteksi dini bila ada penyakit yang tersisa. Selain itu, pemantauan juga membantu pasien untuk melakukan perencanaan kehamilan berikutnya. Selama masa pemantauan, dokter biasanya menyarankan menunda kehamilan sampai kadar hCG benar-benar stabil.
Baca Juga:
Rumah Sakit Royal Progress siap memberikan evaluasi terkait hamil anggur maupun isu kehamilan lainnya, dengan pemeriksaan penunjang medis yang canggih hingga perawatan pasien yang komprehensif. Segera jadwalkan konsultasi Anda dengan dokter spesialis Obstetri dan Ginekologi untuk memperoleh diagnosis tepat dan dukungan ahli bagi kesehatan reproduksi Anda!
Ya, bisa. Wanita yang pernah mengalami hamil anggur punya risiko lebih tinggi untuk mengalaminya lagi dibanding yang belum pernah. Tapi dengan pemantauan ketat dan konseling dokter, banyak pasien tetap bisa hamil normal setelahnya.
Sayangnya tidak ada cara pasti untuk mencegah, karena penyebab utamanya adalah kelainan genetik saat pembuahan. Tapi, menjaga pola makan bergizi (cukup vitamin A/karoten), menghindari hamil di usia terlalu muda atau terlalu tua, dan rutin periksa kandungan bisa membantu menurunkan risiko.
Bisa. Setelah perawatan selesai dan dokter memastikan hCG sudah benar-benar normal, kebanyakan wanita bisa hamil sehat di kemudian hari. Hanya saja harus ada jeda waktu (biasanya minimal 6-12 bulan) sebelum mencoba hamil lagi.
Segera ke IGD bila ada:
Tidak. Hamil anggur bukan penyakit menular, melainkan kelainan kehamilan akibat masalah genetik.
Ya, meski jarang. Jika jaringan abnormal tidak tuntas dibersihkan atau berkembang lebih lanjut, bisa berubah menjadi kanker plasenta (koriokarsinoma). Itulah kenapa pemantauan setelah operasi sangat penting.